Generasi Muda di Persimpangan Sejarah: Menyambut 80 Tahun Kemerdekaan Oleh: Rahmat, S.T. Ketua Persatuan Alumni GMNI Kabupaten Pelalawan

Jumat, 15 Agustus 2025 | 18:11:39 WIB

Pelalawan, (mataandalas) - Delapan puluh tahun kemerdekaan angka yang terdengar megah, namun sekaligus memunculkan pertanyaan getir: apakah kita benar-benar memahami arti kemerdekaan hari ini?

Di jalan-jalan kampung, bendera merah putih mulai berkibar, anak-anak berlatih lomba tarik tambang, dan lapangan desa disapu rapi untuk upacara. Semuanya meriah, penuh warna. Namun di balik gegap gempita itu, terselip kecemasan: ke mana arah generasi muda di tengah arus zaman yang kian deras?

Bagi mereka yang pernah menghirup udara kemerdekaan di tahun-tahun awal, 17 Agustus adalah peringatan yang membakar dada. Ia adalah kisah darah dan air mata; bambu runcing yang terangkat di medan perang; pidato lantang Soekarno-Hatta di tengah tekanan; diplomasi panjang yang tak kalah getir dari pertempuran. Mereka menyimpan luka sejarah di bawah bayang kolonialisme, lalu mewariskannya lewat buku, film nasional, hingga pelajaran sekolah. Itulah wajah nasionalisme: mengingat, menghargai, dan meneruskan.

Namun jarak waktu mengikis rasa. Semakin jauh dari 1945, semakin kabur pula rasa kolektif itu, terutama di mata sebagian generasi muda.

Musuh kita kini tidak lagi berseragam militer. Ia menjelma menjadi korupsi yang membusuk di akar, ketimpangan sosial yang menganga, krisis lingkungan yang mengancam napas bumi, disrupsi teknologi yang mengubah pola hidup, hingga intoleransi yang kembali menyusup di sela-sela perbedaan.

Generasi hari ini lahir di dunia tanpa pagar batas. Hidup mereka dibanjiri informasi dari layar enam inci. Mereka fasih bicara soal AI, startup, NFT, dan krisis iklim global, namun sering gagap saat diminta mengurai naskah proklamasi. Ini bukan berarti mereka kehilangan nasionalisme, tetapi sedang berada di tengah benturan dua dunia: warisan heroik masa lalu dan tuntutan keras masa depan global.

Banyak anak muda harus bekerja sambil kuliah, memulai usaha dari kamar kos karena pekerjaan formal makin sulit, atau bergulat dengan kesehatan mental di tengah kompetisi yang ketat. Mereka hidup di persimpangan antara menghormati masa lalu dan menciptakan masa depan.

Data BPS tahun 2024 mencatat, 53% penduduk Indonesia berusia 15–39 tahun. Artinya, masa depan negeri ini nyaris seluruhnya berada di pundak generasi muda. Namun bagaimana mereka bisa melangkah jauh jika masih terbebani ketimpangan pendidikan, pengangguran yang mencengkeram, dan jurang digital antara kota dan desa?

Di sinilah negara tak boleh sekadar hadir di podium upacara. Tugasnya bukan hanya mengulang narasi kebangsaan setiap Agustus, tetapi membangun fondasi agar anak muda mampu berdiri tegak di panggung dunia. Setidaknya ada tiga hal mendesak:

1. Pendidikan yang relevan.
Kita masih terlalu sibuk menghafal, terlalu sedikit mengasah kritis dan kreatif. Dunia kerja menuntut problem solving, kolaborasi, komunikasi lintas budaya, dan literasi digital. Kurikulum harus menjadi pintu gerbang menuju dunia nyata.

2. Pemerataan kesempatan.
Banyak anak muda di pelosok yang potensinya terkubur karena minimnya infrastruktur. Internet merata, pelatihan digital, dan pintu ekonomi kreatif di daerah harus dibuka lebar.

3. Dukungan kewirausahaan dan inovasi.
Di tengah sulitnya mencari kerja, banyak yang memilih menjadi pengusaha. Pemerintah dan swasta perlu memudahkan perizinan, menyediakan inkubator bisnis, membimbing manajemen, dan membuka akses modal yang adil.

Kemerdekaan, bagi generasi muda, tak cukup diukur dari bendera yang berkibar. Ia harus terlihat dari anak desa yang menciptakan inovasi teknologi ramah lingkungan, dari pemimpin daerah yang lahir di pelosok dan membawa perubahan, dari aktivis yang menjaga hutan, hingga guru kreatif yang menyalakan cahaya di sekolah terpencil.

Dua puluh tahun lagi, saat Indonesia berusia satu abad, sejarah akan mencatat: apakah kita menjadi bangsa yang mampu mengubah potensi menjadi kekuatan, atau sekadar bangsa yang terus bercerita tentang masa lalu sambil tertinggal di masa depan.

Mungkin kelak, pada sebuah 17 Agustus, upacara tetap digelar, lagu kebangsaan tetap dinyanyikan, bendera tetap berkibar. Namun makna kemerdekaan akan bergantung pada apa yang kita lakukan untuk anak muda hari ini. Sebab jika kita gagal, yang tersisa hanyalah perayaan tanpa jiwa  merdeka di kata, tapi belum tentu di rasa.***
 

Terkini