Tragedi sosial-politik yang kini melingkupi ibu kota bukanlah sekadar rangkaian peristiwa terpisah, melainkan potret utuh dari krisis etika publik di negeri ini.
Dalam teori public ethics, tindakan pejabat negara selalu dinilai bukan hanya berdasarkan legalitas, tetapi juga moralitas.
Hukum mungkin membolehkan, tetapi etika publik menuntut sensitivitas.
Namun, luka terdalam datang saat aspal ibu kota bersimbah duka. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang hanya mencari nafkah, meninggal dunia dilindas mobil rantis Brimob. Tragedi Affan Kurniawan adalah puncak keprihatinan. Nyawa seorang pencari nafkah melayang di tengah situasi yang mestinya dikelola dengan hati-hati oleh negara.
Kematian Affan bukan sekadar kecelakaan, melainkan tanda lemahnya manajemen keamanan dalam demokrasi.
Aparat keamanan bukan hanya bertugas menjaga ketertiban, tetapi juga melindungi keselamatan setiap warga negara. Ketika itu gagal dilakukan, negara sedang absen di hadapan rakyatnya.
Kita sedang menyaksikan krisis sensitivitas pejabat yang jika dibiarkan akan menambah jurang ketidak percayaan publik terhadap institusi negara.
Tugas utama pejabat publik bukan hanya mengelola kebijakan, tetapi juga menjaga moralitas kepemimpinan. Etika publik harus kembali menjadi jangkar.
Para pejabat seharusnya menyadari bahwa simbol lebih kuat daripada angka, kata lebih berbahaya daripada senjata, dan nyawa lebih berharga daripada kepentingan politik sesaat.
Tanpa kesadaran ini, demokrasi hanya akan menjadi panggung retorika yang kosong, sementara rakyat terus memendam luka.
Demokrasi tanpa etika publik hanyalah prosedur kosong. tragedi hilangnya nyawa rakyat hanyalah gejala dari penyakit yang sama rapuhnya fondasi moral dalam tata kelola negara.
Kini, saatnya negara tidak hanya membicarakan good governance dalam aspek teknis, tetapi juga ethical governance sebagai pilar utama.
Bukan hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tapi juga pengemudi ojek online, pelajar, bahkan orang yang kebetulan lewat. Mereka bukan sekadar massa politik. Mereka sedang bekerja, mencari nafkah, atau sekadar ingin pulang ke rumah.
Dan di antara mereka, ada yang tak pernah sampai rumah. Affan, misalnya, yang meninggal setelah kendaraan taktis melintas di tengah kerumunan dan menabraknya. Ada juga Moh Umar Amarudin, yang namanya kini hanya tinggal dalam doa keluarga. Mereka bukan hanya angka dalam laporan resmi. Mereka anak muda dengan harapan sederhana, yang kini direnggut paksa oleh sebuah keputusan taktis dilapangan.
Ada ironi yang tak bisa kita abaikan. Di satu sisi, anak-anak muda hari ini jadi garda depan ekonomi. Menjadi pengemudi ojol, kurir paket, pekerja harian, pelajar yang mencari tambahan uang saku. Di sisi lain, aparat yang bertugas menjaga ketertiban juga kebanyakan masih muda. Dua generasi sebaya ini dipertemukan bukan dalam ruang persaudaraan, melainkan di jalanan yang penuh gas air mata.
Benturan mereka bukan semata soal hukum. Ia adalah potret kegagalan kita merawat masa depan bersama. Demokrasi seharusnya menjadi ruang aman bagi semua, bukan arena di mana anak muda saling melukai hanya karena negara tak mampu mengatur dengan bijak.
Rantis atau kendaraan taktis mungkin dirancang untuk menghadapi ancaman perang. Tetapi ketika ia melaju di tengah kerumunan warga, risiko fatal sudah di depan mata. Dan itu bukan teori. Nyawa sudah melayang.
Seharusnya, dari hulu ke hilir, tata kelola pengendalian massa didesain ulang dengan satu prinsip sederhana, keselamatan warga sipil nomor satu. Jalur aman bagi pekerja informal, peringatan dini yang jelas, dan protokol evakuasi yang cepat. Itu bukan tambahan opsional, melainkan syarat mutlak jika negara sungguh ingin melindungi rakyatnya.
Setiap kali tragedi terjadi, janji pengusutan hampir selalu diucapkan. Tapi publik tahu, tanpa transparansi, janji itu hanyalah kata-kata yang akan hilang bersama headline.
Kita butuh investigasi independen, hasilnya diumumkan jelas, dan pertanggungjawaban nyata, siapa memberi perintah, bagaimana SOP dilaksanakan, dan apa konsekuensinya jika ada kelalaian. Keadilan di sini bukan sekadar menghukum pelaku di lapangan. Keluarga korban berhak tahu kebenaran, mendapatkan kompensasi, dan melihat ada perubahan nyata setelah kehilangan.
Affan dan Moh Umar harus menjadi titik balik, bukan catatan kaki. Kita tak bisa terus-menerus membiarkan anak muda mati di jalanan, Demokrasi bukan hanya urusan gedung parlemen. Demokrasi hidup di jalanan, di ruang tempat warga beraktivitas, bekerja, dan menyampaikan suara.
Kalau 1998 mengajari kita keberanian untuk menuntut perubahan, maka tragedi hari ini harus mengajari kita tanggung jawab untuk menjaga kemanusiaan. Polisi dan demonstran tak bisa terus dipandang sebagai dua kutub yang saling meniadakan. Kita butuh cara baru bagi negara, media, dan masyarakat untuk mengelola perbedaan di ruang publik, dengan satu patokan sederhana, yaitu, jangan ada nyawa melayang sia-sia
Empati tidak boleh berhenti di kolom komentar media sosial. Ia harus menjelma jadi tuntutan kolektif, seperti, revisi prosedur pengendalian massa, pelatihan de-eskalasi bagi aparat, perlindungan bagi pekerja jalanan, dan investigasi independen yang transparan.
Jika kita gagal menuntut akuntabilitas sekarang, maka generasi yang kita wariskan hanyalah cerita kehilangan. Bukan kemajuan.***