STEM ala Indonesia: Science, Technology, Engineering, Meme

Senin, 06 Oktober 2025 | 15:48:46 WIB
Novita Sari Yahya Penulis dan peneliti.

Oleh Novita Sari Yahya

Dari Nilai A ke Jurusan Biologi

Ilmu pengetahuan yang belum pernah saya dalami secara serius adalah matematika dan fisika. Ironisnya, waktu SD di Malaysia saya bisa mendapat grade A di semua pelajaran. Saat SMP, nilai Ebtanas matematika saya bahkan 9 lebih. Namun ketika masuk SMA, barulah saya sadar: ternyata otak saya tidak seindah rapor.

Matematika mulai menampakkan taringnya, fisika menjadi monster yang lebih menakutkan dari guru killer, sementara biologi dan bahasa terasa seperti pacar yang manis—selalu membuat nyaman. Tak heran akhirnya saya memilih jurusan biologi. Pilihan aman, tentu saja.

STEM dan Warisan Soekarno

Sekarang istilah kerennya adalah STEM—Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Katanya itu fondasi dunia modern. Tapi jauh sebelum istilah itu populer, Presiden Soekarno sudah memikirkan hal yang sama. Ribuan mahasiswa Indonesia dikirim ke Rusia, Tiongkok, Eropa Timur, bahkan Korea Utara. Tujuannya jelas: pulang dan membangun Indonesia.

Soekarno adalah figur revolusioner yang penuh semangat. Dengan pidatonya, ia bisa membuat rakyat bergetar, bahkan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia!”—sebuah kutipan yang hingga kini masih hidup. Namun di balik semangat membara itu, ada paradoks: beberapa tokoh besar seperti Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, dan Buya Hamka justru dipenjara karena beda haluan.

Kritik Bung Hatta tentang “persatean” Nasakom pun tenggelam di tengah retorika Bung Karno yang selalu dramatis dan memikat.

Mahasiswa Indonesia di Blok Timur

Andai tragedi 1965 tidak terjadi, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri bisa pulang dan membangun negeri. Bayangkan, mereka membawa ilmu dari Rusia, Eropa Timur, atau Tiongkok—ilmu yang bahkan tak ditemukan di Cambridge atau Oxford.

Korea Utara, misalnya, walau miskin, unggul dalam riset nuklir dan teknologi kesehatan. Mahasiswa Indonesia di era itu ada yang belajar teknik perkeretaapian Soviet, rekayasa nuklir, hingga kedokteran tropis berbasis sistem komunal Tiongkok—sesuatu yang dianggap “tidak sesuai selera kapitalisme” di Barat.

Namun semua itu berakhir tragis: mereka dibantai, dipenjara, atau tak bisa pulang. Sejarah Indonesia kehilangan generasi emas ilmu pengetahuan.

1965: Ilmu yang Hilang dan Generasi yang Terkorbankan

Tragedi politik 1965 bukan hanya soal perebutan kuasa, tapi juga pemusnahan potensi akademik bangsa. Ribuan intelektual yang dianggap “kiri” lenyap begitu saja. Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri menjadi eksil, hidup di pengasingan—dari Praha, Moskow, hingga Beijing.

Pertanyaannya: seandainya mereka bisa pulang dan berkarya, apakah Indonesia hari ini mampu menyalip Tiongkok? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

Orde Baru dan Lahirnya Ilmu “Komisiologi”

Memasuki era Orde Baru, Soeharto membangun sistem pembangunan dengan dukungan Amerika Serikat dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia. Mahasiswa Indonesia mulai dikirim ke AS, Inggris, Australia, dan Belanda.

Hasilnya? Banyak yang pulang membawa ilmu, tetapi pemerintah tidak punya ruang menampungnya. Jurusan seperti astrofisika, bioteknologi, atau teknik nuklir tak mendapat tempat.

Lulusan cemerlang itu akhirnya bekerja di perusahaan asing atau menjadi konsultan proyek. Sementara yang benar-benar berjaya justru mereka yang menguasai ilmu baru bernama “komisiologi”—seni mendapatkan komisi dari setiap proyek sumber daya alam.

Inilah masa ketika jargon paling populer bukan STEM, melainkan “asal bapak senang” dan “bapak/ibu komisi.”

Sarjana Luar Negeri: Dari Beasiswa ke Buzzer

Banyak sarjana jebolan kampus top dunia akhirnya bekerja di perusahaan asing atau rebutan jabatan komisaris BUMN. Bukan karena prestasi, tapi karena koneksi.

Lebih parah lagi, sebagian berubah menjadi gelandangan politik. Mereka sibuk ribut di media sosial, membuat meme, menjadi buzzer. Jika calon yang didukung menang pilpres, langsung naik pangkat jadi staf ahli atau komisaris.

Ironisnya, mereka lebih sering memproduksi hoaks dan gosip ala emak-emak komplek ketimbang jurnal ilmiah.
Inilah tragedi pendidikan tinggi Indonesia: dari beasiswa rakyat, hasilnya malah jadi konten kreator politik.

Matematika dan Fisika: Dari Saya ke Generasi Berikutnya

Kembali ke kisah pribadi: saya lemah di bidang matematika dan fisika. Tapi ada harapan baru—putra saya justru cemerlang di bidang itu. Ia lulus teknik sipil dan hasil tes IQ-nya menunjukkan kemampuan tinggi di bidang STEM.

Ketika saya mendorongnya melanjutkan kuliah S2, jawabannya sederhana:

“Uang lebih penting daripada ijazah.”

Pernyataan itu menggambarkan realitas generasi muda Indonesia hari ini. Mereka lebih memilih jalan pragmatis daripada mengejar ilmu. Meski begitu, saya tetap optimis: suatu saat, Indonesia akan kembali seperti masa awal kemerdekaan—ketika manusia Indonesia lebih haus ilmu daripada haus jabatan.

Harapan Baru dari Generasi Z

Belakangan ini muncul berita menggembirakan: Generasi Z mulai bangkit dengan literasi. Mereka membeli buku, membuat klub baca, dan berdiskusi. Sebuah tanda bahwa gairah pengetahuan belum benar-benar padam.

Saya berharap, suatu hari lahir yayasan filantropi desa yang fokus pada riset dan pengembangan teknologi sederhana. Dari desa bisa lahir pemikir besar, ahli matematika, bahkan fisikawan yang menciptakan mesin cerdas lebih pintar dari Grok atau ChatGPT.

Desa yang modern namun tetap tradisional, dengan masyarakat yang gemar membaca, menulis, dan berdiskusi.
Itulah imajinasi saya tentang Indonesia: negara yang bukan hanya pandai membuat meme politik, tapi juga menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Referensi

1. Benedict Anderson, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971).

2. John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006).

3. Hilmar Farid, “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66,” Inter-Asia Cultural Studies, 2005.

4. Tempo Magazine, “Mereka yang Tak Bisa Pulang: Kisah Eksil 1965” (Edisi Khusus, 2015).

5. Kompas, “Generasi Z dan Tren Membaca: Toko Buku Kembali Ramai” (2024).

6. David Bourchier, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (Routledge, 2014).

Tentang Penulis

Novita Sari Yahya
Penulis dan peneliti.
Hobi: mengamati tingkah laku manusia Indonesia sambil scroll media sosial.

Karya Buku:
1. Romansa Cinta
2. Padusi: Alam Takambang Jadi Guru
3. Novita & Kebangsaan
4. Makna di Setiap Rasa (Antologi 100 Puisi Nasional & Internasional)
5. Siluet Cinta, Pelangi Rindu
6. Self Love: Rumah Perlindungan Diri

Kontak pembelian buku: 0895-2001-8812
Instagram: @novita.kebangsaan

Terkini