Oleh: Iswadi M. Yazid
Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Sebagian orang mungkin melihatnya hanya sebagai tanggal di kalender, namun bagi mereka yang pernah hidup dan tumbuh di pesantren, waktu untuk merenung dan mengenang. Ia menjadi momen untuk bersyukur atas perjalanan panjang yang penuh makna, tempat di mana jiwa dan karakter dibentuk bukan sekadar oleh pelajaran, tetapi oleh kehidupan itu sendiri. Sebagai seorang yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren, saya selalu merasa ada getaran yang berbeda. Ada rasa haru, bangga, dan rindu yang menyatu. Bangga karena nilai-nilai yang ditanamkan pesantren terus hidup dan membimbing langkah hingga hari ini. Rindu karena dari sanalah perjalanan hidup bermula dengan segala kesederhanaannya yang justru melahirkan kekuatan.
Tulisan ini bukan untuk mengagungkan masa lalu, melainkan sebagai bentuk rasa syukur. Sebuah pengakuan sederhana, bahwa banyak hal baik dalam hidup saya sekarang berakar dari pendidikan dan pengalaman selama menjadi santri. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga rumah pembentuk jiwa, tempat kami belajar tentang arti tanggung jawab, ketulusan, dan keikhlasan.
1. Pesantren: Sekolah Kehidupan yang Membentuk Karakter
Pesantren bukanlah tempat yang hanya mengajarkan ilmu agama. Ia adalah “sekolah kehidupan” yang membentuk manusia seutuhnya. Di sana, santri tidak hanya diajarkan cara memahami teks kitab, tetapi juga bagaimana bersikap terhadap sesama, bagaimana menghargai waktu, serta bagaimana menjalani hidup dengan disiplin dan sederhana.Saya masih mengingat betul suasana subuh di pondok. Udara dingin menusuk, suara kentongan terdengar dari kejauhan, dan satu per satu santri bergegas menuju masjid. Tidak ada yang memaksa, tapi panggilan hati seolah menyatu dengan irama kehidupan pesantren. Bangun pagi, shalat berjamaah, mengaji, bekerja bakti, hingga belajar malam hari menjadi rutinitas yang membentuk daya tahan dan kedisiplinan. Dalam dunia kerja hari ini, kebiasaan itu menjelma menjadi kekuatan. Ketika harus menyelesaikan tugas dengan waktu terbatas atau menghadapi tekanan, saya selalu teringat masa-masa di pondok. Disiplin yang terlatih, kesabaran yang dibangun dari kebersahajaan, dan semangat kebersamaan yang tulus membuat saya mampu menghadapi tantangan dengan tenang.
2. Ilmu dan Akhlak: Dua Sayap untuk Terbang Tinggi
Di pesantren, guru-guru kami sering menekankan bahwa ilmu tanpa adab adalah kesia-siaan, dan adab tanpa ilmu adalah kebingungan. Pesan ini sederhana, namun maknanya mendalam.
Kami diajarkan bahwa tujuan menuntut ilmu bukan hanya agar pandai berbicara, tetapi agar hati menjadi lembut dan perilaku semakin baik. Hormat kepada guru, sopan kepada sesama, dan ikhlas dalam belajar adalah bagian dari pelajaran utama.
Kini, setelah terjun ke dunia profesional, saya semakin menyadari betapa pentingnya pelajaran itu. Banyak orang hebat secara intelektual, tetapi gagal menjaga etika. Di titik inilah nilai kesantrian menunjukkan relevansinya. Kejujuran, kerendahan hati, dan tanggung jawab menjadi nilai yang tidak lekang oleh waktu — ia menjadi modal moral yang membuat kita dipercaya dan dihormati.
3. Ketangguhan Mental dari Kehidupan Sederhana
Hidup di pesantren tidak selalu mudah. Serba terbatas, serba sederhana. Namun dari keterbatasan itulah tumbuh kekuatan yang luar biasa. Santri belajar bersabar, menahan diri, dan tetap bersemangat dalam kondisi apa pun. Kami terbiasa hidup dengan fasilitas seadanya. Kadang harus mencuci baju di sungai, berbagi makanan dengan teman, atau belajar di bawah cahaya lampu yang temaram. Namun justru dari situ kami belajar arti syukur dan kesabaran.
Ketika kini menghadapi tekanan pekerjaan, kegagalan, atau rasa lelah dalam kehidupan, kenangan masa-masa itu selalu menjadi penguat. Saya belajar bahwa kesulitan tidak untuk ditakuti, melainkan dihadapi dengan sabar dan keyakinan. Dan itulah pelajaran paling berharga dari pesantren ketangguhan yang lahir dari kesederhanaan.
4. Kreativitas dari Keterbatasan
Salah satu hal yang sering saya syukuri adalah bagaimana pesantren mengajarkan kreativitas dengan cara yang alami. Di tengah keterbatasan, santri selalu menemukan cara untuk bertahan dan berkreasi. Sarung bisa berubah fungsi menjadi tas, bantal, atau sajadah. Makanan sederhana bisa disulap menjadi santapan istimewa jika dinikmati bersama. Dari situ lahir jiwa pantang menyerah dan kemampuan beradaptasi yang tinggi.
Keterampilan seperti ini ternyata sangat berguna dalam dunia modern. Ketika harus menghadapi situasi sulit atau sumber daya terbatas, saya terbiasa mencari solusi dengan cara yang kreatif. Ini bukan sekadar hasil latihan teknis, tapi buah dari pengalaman hidup yang penuh makna di pondok.
5. Ukhuwah Santriyyah: Persaudaraan Seumur Hidup
Salah satu warisan terbesar dari pesantren adalah persaudaraan yang kuat di antara para santri. Hidup bersama dalam suka dan duka, makan sepiring berdua, belajar satu kitab bersama, semuanya menumbuhkan ikatan batin yang dalam.
Persaudaraan itu tidak berhenti ketika kami keluar dari pondok. Di mana pun bertemu sesama alumni, selalu terasa ada hubungan hati yang hangat. Kami bisa berbeda profesi, tinggal di tempat berbeda, tapi tetap memiliki semangat yang sama: semangat saling mendukung dan mendoakan.
Jaringan alumni pesantren kini tersebar di berbagai bidang pemerintahan, pendidikan, bisnis, bahkan teknologi. Namun yang membuat mereka istimewa bukan semata prestasi, melainkan kejujuran dan keikhlasan yang mereka bawa dari masa kesantrian.
6. Santri dan Dunia Modern: Antara Tradisi dan Inovasi
Zaman telah berubah. Santri hari ini tidak hanya dituntut memahami kitab klasik, tetapi juga mampu membaca dunia modern dengan segala dinamikanya. Pesantren masa kini pun semakin terbuka terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Namun, nilai-nilai dasarnya tetap sama: ketulusan, kedisiplinan, dan semangat belajar tanpa batas. Dengan fondasi spiritual yang kuat, santri justru lebih siap menghadapi era digital yang penuh godaan. Mereka bisa beradaptasi tanpa kehilangan arah.
Santri kini hadir di berbagai bidang menjadi akademisi, pejabat, pengusaha, dan profesional. Ada yang menulis buku, membuat aplikasi islami, bahkan menjadi inovator di bidang teknologi. Namun di manapun mereka berada, prinsipnya tetap sama: mengabdi dan memberi manfaat bagi umat.
7. Khidmah: Pengabdian Sebagai Jalan Hidup
Satu hal yang melekat dalam diri santri adalah semangat pengabdian atau khidmah. Dari pesantren kami belajar bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan kehilangan berkahnya. Maka, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan niat melayani menjadi ibadah yang bernilai tinggi.
Bekerja dengan hati, melayani masyarakat dengan tulus, dan menjaga amanah adalah bentuk nyata dari khidmah itu. Ini bukan tentang mencari pujian, tapi tentang memberi makna.
Ketika melihat para guru dan kyai yang mengabdikan hidup mereka untuk mendidik tanpa pamrih, saya belajar bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari jabatan atau kekayaan, tetapi dari seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan.
8. Santri di Era Digital: Menjaga Etika dan Integritas
Dunia digital membawa banyak peluang, tapi juga tantangan besar. Informasi begitu mudah diakses, namun kebenaran sering kali kabur. Di sinilah nilai-nilai pesantren menjadi penting.
Santri yang melek teknologi harus mampu menjadi penyejuk di dunia maya — menyebarkan kebaikan, bukan kebencian. Dengan dasar keilmuan dan moral yang kuat, santri bisa menjadi penjaga etika digital, pelopor literasi, dan pendorong perubahan yang positif.
Kita membutuhkan santri yang tidak hanya pandai membaca kitab, tetapi juga cakap mengelola data dan menginspirasi dunia dengan cara yang bijak. Santri yang bisa menjadi “penjaga moral” sekaligus “penggerak inovasi”.
9. Santri dan Cinta Tanah Air
Hari Santri Nasional berakar dari Resolusi Jihad 1945, ketika para ulama dan santri ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dari situ kita belajar bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Semangat itu perlu terus dijaga. Santri masa kini harus menjadi penjaga persatuan dan teladan moderasi. Di tengah perbedaan suku, budaya, dan pandangan, santri memiliki peran penting sebagai perekat bangsa. Nilai wasathiyah yaitu sikap tengah dan seimbang adalah warisan pesantren yang sangat relevan di era sekarang. Dari pesantren kita belajar untuk tidak ekstrem, tidak mudah menghakimi, dan selalu mencari jalan damai.
10. Pesan untuk Sesama Alumni
Setiap kali Hari Santri tiba, saya selalu merasa seperti sedang dipanggil pulang bukan secara fisik, tapi secara batin. Ada rasa rindu pada suasana pondok, pada para guru yang tulus mengajar, dan pada teman-teman seperjuangan yang kini tersebar di berbagai penjuru negeri.
Hari Santri mengingatkan kita semua agar tidak melupakan akar. Apa pun profesi dan posisi kita sekarang, jangan pernah melepaskan nilai-nilai kesantrian yang telah membentuk diri. Tetaplah jujur, rendah hati, dan bermanfaat bagi sesama.Kita mungkin sudah meninggalkan pesantren, tetapi pesantren tidak pernah meninggalkan kita. Suara azan subuh, aroma kitab kuning, dan senyum para guru akan selalu menjadi cahaya yang menuntun langkah.
Penutup: Santri dan Harapan Masa Depan
Hari Santri bukan sekadar momen nostalgia, melainkan waktu untuk memperbarui tekad. Tekad untuk terus belajar, berbuat baik, dan mengabdi. Santri adalah simbol ketekunan, keikhlasan, dan semangat mencari ilmu. Nilai-nilai itu tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga sangat dibutuhkan oleh Indonesia masa depan. Mari jadikan Hari Santri 2025 ini sebagai pengingat bahwa kita memiliki warisan luhur warisan yang bisa menjadi panduan membangun negeri yang berakhlak, damai, dan berkemajuan. Selamat Hari Santri Nasional 2025. Semoga semangat kesantrian terus menyala dalam diri setiap anak bangsa. Karena sejatinya, menjadi santri bukan soal tempat belajar, tapi tentang cara hidup.***