Pemerhati Dakwah Digital dan Literasi Moral

Minggu, 09 November 2025 | 20:19:02 WIB
Iswadi M. Yazid, Pemerhati Dakwah Digital dan Literasi Moral

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Tanggal ini bukan sekadar angka dalam kalender, tapi simbol dari perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih. Dulu, para pejuang berperang di medan laga dengan bambu runcing, darah, dan semangat kemerdekaan. Mereka bertempur untuk membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan ketidakadilan. Kini, zaman telah berubah. Tidak ada lagi dentuman meriam, tetapi medan perjuangan baru terbuka luas: ruang digital. Dunia maya menjadi tempat baru di mana nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan moralitas diuji. Jika dulu para pahlawan melawan penjajah yang nyata, maka hari ini kita melawan bentuk penjajahan baru — penjajahan informasi, penjajahan pikiran, dan penjajahan moral. Perjuangan di era digital tidak lagi membutuhkan senjata. Cukup dengan satu unggahan, satu komentar, atau satu pesan, seseorang bisa mengubah cara pandang masyarakat. Namun, di sisi lain, satu kabar bohong juga bisa memecah belah persaudaraan, menghancurkan reputasi, bahkan menimbulkan kebencian. Karena itu, di era ini kita membutuhkan pahlawan jenis baru — pahlawan tanpa seragam, yang berjuang bukan di medan perang, tetapi di balik layar. Mereka tidak mengangkat senjata, tetapi mengangkat pena dan nalar. Mereka tidak berorasi di podium, tetapi berbicara lewat tulisan, video, dan karya digital yang mencerahkan. Mereka tidak menuntut penghargaan, sebab perjuangannya adalah menjaga kebenaran dan menebarkan nilai kebaikan di dunia maya. Namun, menjadi pahlawan di era digital tentu tidak cukup hanya dengan semangat. Di balik derasnya arus informasi, sering tersembunyi jebakan: kabar palsu, provokasi, atau fitnah yang tampak benar. Ketika kebenaran mulai samar dan kebohongan tampil meyakinkan, di sanalah perjuangan sejati dimulai — menjadi lentera yang menuntun arah di tengah kabut informasi yang menyesatkan. Karena itu, langkah menjadi pahlawan digital dimulai dari hal-hal berikut ini.Pertama,  Menyalakan Cahaya Kebenaran (Isy‘?lu n?ril-?aqq) : Setiap hari, jutaan berita melintas di layar kita. Tidak semuanya membawa kebaikan. Ada kabar palsu, provokasi, bahkan fitnah yang dikemas seolah benar. Dunia maya kini seperti lautan luas, dan kita adalah pelaut yang harus pandai membaca arah. Pahlawan digital bukan hanya mereka yang pandai berbicara, tapi yang mampu menyaring informasi sebelum menyebarkan. Rasulullah ? bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap berdosa bila ia menyebarkan setiap kabar yang ia dengar.” (HR. Muslim) Hadis ini menjadi peringatan penting. Satu klik “bagikan” tanpa tabayyun bisa membawa dosa dan kerusakan besar. Di sinilah peran penting pahlawan digital: menyalakan cahaya kebenaran di tengah gelapnya kabar bohong. Menjadi pahlawan digital berarti berani berkata benar meski tidak populer, dan menolak ikut arus meski mayoritas melakukannya. Mereka menjaga kejujuran sebagai prinsip, sebab tanpa kebenaran, dunia maya hanyalah panggung kepalsuan. Kedua, Menginspirasi dengan Konten Kebaikan (Ilh?mu al-khayri bil-mu?taw?) : Dunia digital adalah ruang luas untuk berdakwah dan berbagi manfaat. Menjadi pahlawan digital bukan berarti harus viral atau memiliki banyak pengikut, tetapi cukup dengan menebar kebaikan, sekecil apa pun bentuknya. Kita bisa mulai dengan hal sederhana: menulis pesan positif, mengunggah kutipan hikmah, berbagi ilmu agama, atau sekadar mengingatkan orang lain agar bersyukur. Dalam dunia yang sering bising oleh keluhan dan kebencian, suara lembut yang menebar kedamaian sangat berharga. Allah ? berfirman: “Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya.” (QS. An-Nisa: 85) Artinya, satu unggahan yang membawa kebaikan bisa menjadi amal jariyah. Bahkan setelah kita tiada, kebaikan itu tetap hidup selama masih dibaca dan diamalkan orang lain. Inilah hakikat pahala tanpa batas di era digital — pahala yang tidak mengenal waktu, selama jejak kebaikan kita tetap menyala di dunia maya. Ketiga,  Menjaga Etika dan Akhlak di Dunia Maya (?if?ul-adabi wal-akhl?qi fil-‘?lamil-iftir???) : Pahlawan sejati tidak hanya berjuang dengan gagasan, tetapi juga dengan akhlak. Dunia maya sering kali menjadi tempat di mana emosi lepas kendali. Orang mudah tersinggung, saling menghina, bahkan menjatuhkan tanpa empati. Padahal, Islam mengajarkan kelembutan dan kesantunan dalam setiap perkataan. Rasulullah ? bersabda: “Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang mampu menahan amarah ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam konteks digital, menahan diri untuk tidak ikut berdebat kusir, tidak menulis komentar kasar, atau tidak membalas hinaan dengan hinaan adalah wujud kekuatan sejati. Pahlawan digital sejati adalah mereka yang mampu menjaga kesantunan di dunia yang serba terbuka. Mereka tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mendoakan. Keempat,  Menghidupkan Gotong Royong Digital (I?y?’u at-ta‘?wunir-raqam?) : Salah satu warisan luhur bangsa ini adalah semangat gotong royong. Dulu, semangat itu terlihat jelas saat rakyat bersatu mengusir penjajah. Kini, gotong royong bisa dihidupkan kembali melalui ruang digital. Kita bisa membantu promosi usaha kecil lewat media sosial, ikut dalam penggalangan dana online, atau menyebarkan informasi penting yang bermanfaat bagi masyarakat. Tindakan sederhana itu adalah bentuk kepahlawanan baru — karena pahlawan tidak selalu harus berkorban nyawa, tetapi bisa berarti menjadi penolong bagi sesama dalam bentuk apa pun. Nilai ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) harus menjadi fondasi. Dunia maya seharusnya bukan tempat saling menjatuhkan, tetapi sarana memperkuat silaturahmi dan kolaborasi.

Kelima,  Menjaga Hati dari Godaan Ketenaran (?if?ul-qalbi min ghur?ris-syuhrah): Era digital membuat banyak orang berlomba mencari perhatian. Ukuran kesuksesan sering kali ditentukan oleh jumlah like dan followers. Namun, pahlawan sejati tidak mencari sorotan, melainkan ridha Allah.

Mereka bekerja dalam diam, berkarya dengan tulus, tanpa mengharap pujian. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: “Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya hati, dan tidak terkenal.” (HR. Muslim) Ketenaran mudah datang, tapi keikhlasan sulit dijaga. Itulah sebabnya, menjaga hati agar tidak silau oleh popularitas merupakan jihad tersendiri. Pahlawan digital yang ikhlas tahu bahwa setiap kebaikan tidak perlu diketahui manusia, cukup Allah yang menilai. Keenam,  Menghadirkan Ruh Kepahlawanan dalam Diri (Ibr?zu r??il-fid?’i fin-nafs): Menjadi pahlawan digital bukan hanya soal apa yang kita bagikan, tetapi juga bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dalam diri. Semangat pengorbanan, kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan empati harus menjadi bagian dari identitas digital kita. Setiap kali kita menolak menyebarkan berita bohong, menulis sesuatu yang bermanfaat, atau menghibur orang lain dengan kebaikan — sesungguhnya kita sedang menghidupkan kembali semangat para pahlawan bangsa dalam bentuk baru. Pahlawan dulu mempertaruhkan nyawa agar bangsa ini merdeka dari penjajahan fisik. Sekarang, tugas kita adalah memastikan bangsa ini merdeka dari kebodohan, kebencian, dan kemalasan berpikir di dunia digital.

Penutup: Pahlawan di Balik Layar

Kita hidup di zaman yang serba cepat, di mana kebenaran bisa kalah oleh popularitas, dan kejujuran bisa tenggelam oleh sensasi. Tapi di tengah hiruk-pikuk itu, masih ada mereka yang tenang, konsisten, dan berpegang pada nilai kebaikan. Mereka mungkin tidak dikenang dalam buku sejarah, tapi Allah mencatat setiap niat dan langkah mereka. Mereka tidak memakai seragam, tidak berdiri di podium, tidak disambut dengan tepuk tangan. Namun mereka tetap berjuang, menjaga cahaya kebenaran di tengah gelapnya dunia maya. Itulah pahlawan tanpa seragam — mereka yang bekerja dengan hati, berpikir dengan nalar, dan menulis dengan iman. Mereka yang percaya bahwa satu kata baik bisa menenangkan hati, satu postingan bermanfaat bisa menumbuhkan semangat, dan satu tindakan kecil bisa mengubah arah kehidupan seseorang. Karena pada akhirnya, kepahlawanan bukan soal di mana kita berjuang, tetapi untuk siapa kita berjuang. Selama perjuangan itu untuk kebenaran dan kemanusiaan, maka setiap dari kita bisa menjadi pahlawan. “Pahlawan sejati adalah mereka yang terus berbuat baik meski tak terlihat.” Wallahu ‘alam.***

Halaman :

Terkini