Kopeasi Merah Putih Sebagai Pilar Ekonomi Rakyat

Kopeasi Merah Putih Sebagai Pilar Ekonomi Rakyat
Rahmad, ST Ketua PA GMNI Kabupaten Pelalawan

Oleh: Rahmad, ST
Ketua PA GMNI Kabupaten Pelalawan


Pelalawan, (Mataandalas) - Ditengah kondisi Negara yang masih menghadapai berbagai tantangan ekonomi dan sosial, peran masyrakat untuk saling mendukung menjadi sangat penting. Kesenjangan dan kesulitan hidup tidak bisa diselesaikan dengan sendiri melainkan dengan kebersamaan dan persatuan.  Disinilah Koperasi Merah Putih hadir sebagai solusi nyata yang lahir dari semangat gotong royong bngsa.

Koperasi Merah Putih memberikan ruang bagi setiap anggota untuk saling membantu, berbagi manfaat dan bangun bersama. Bergabung dengan Koperasi Merah Putih berarti ikut mengambil bagian dalam membngun kemandirian bangsa. Dengan semangat persatuan kita bisa jadikan tantangan sebagai peluang serta mewujudkan kesejahteraan bersama untuk msa depan Indonesia yang lebih baik.

Koperasi Merah Putih bukan sekedar lembaga ekonomi melainkan gerakan nasional yang menghidupkan kemabali semangat gotong royong dan kemandirian. Dengan pemberdayaan desa sebagai fondasinya. Koperasi ini dapat menjadi jembatan antara ekonomi lokal dan nasional. Sekaligus benteng ekonomi rakyat menghadapi ekonomi global. Koperasi Merah Putih bukan sekedar nama, melainkan sebuah simbolis dari koperasi yang berjuang dengan semangat nasionalisme untuk memberdayakan anggotanya, menghidupkan perekonomian desa, dan pada akhirnya memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.

Koperasi sudah lama dikenal sebagi soko guru pembangunan indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945. Dalam semangat itu, lahir koperasi merah putih, sebuah gerakan ekonomi berbasis goting royong yang mengusung nilai nasionalisme dan pemberdayaan rakyat, khususnya di pedesaan membagun dari bawah dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Desa Sebagai Titik Nol Pembangunan Nasional

Ketika kota - kota besar kian padat dan biaya hidup terus merangkak naik, desa sesungguhnya menyimpan jawaban bagi masa depan ekonomi Indonesia. Desa bukan lagi sekedar halaman belakang pembangunan, melainkan titik nol yang bisa menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Melalui program Koperasi Desa/kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP), Pemerintah mencoba membakik arus pembangunan bukan lagi dari pusat ke pinggiran, malainkan dari pinggiran ke pusat.

Sejarah membuktikan koperasi adalah saranah paling efektif untuk pergerakan ekonomi kerakyatan. Dari era bung hatta hingga kini, koperasi dianggap sebagai alat perjuangan ekonomi, namun dalam praktiknya, moperasi kerap terjebak sebagai lembaga formalitas tanpa daya ungkit yang signifikan.

APBN Sebagai Tulang Punggung Tranformasi

Semua mimpi itu tentu memerlukan dukungan fisikal, APBN hadir memberikan skema pembiayaan inovatif melalui Saldo Anggaran Lebih (SAL). Pemerintah menawarkan pinjaman dengan suku bunga ringan selama 6 tahun. Sekema ini lebeih sekedar insentif, melainkan jembatan agar desa berani melangkah.

Selain itu, melalui Transfer ke daerah (TKD), APBN menempatkan pembentukan koperasi sebagai persyaratan pencairan dana desatahap II tahun anggaran 2025. Kebijakan ini menjadi strategi fisikal yang cerdas. Setiap rupiah dana desa disarankan agar benar-benar menciptakan nilai tambah ditungkat lokal.

Yang menarik, kebijakan ini tidak berjalan satu arah. Pemerintah pusat mendorong, sementara pemerintah daerah menjadi mitra pelaksana, kepala desa dan lurah didorong untuk menjadi motor oenggerak koperasi, semntara pemerintah/lembaga lintas sektor ikut terlibat.

APBN juga berperan dalam memastikan akuntabilitas. Kementerian Keuangan tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga melakukan due diligence dan menyediakan mekanisme jaminan. Artinya, dana publik yang digelontorkan bukan sekadar cair, tetapi juga terukur, terawasi, dan berorientasi hasil.

Analisis Teori Permasalahan Koperasi Merah Putih

Masuknya program Koperasi Desa Merah Putih ke berbagai wilayah Indonesia membawa semangat baru untuk mendorong ekonomi desa. Namun, di lapangan, banyak koperasi ini justru mengalami stagnasi, kebingungan operasional, atau bahkan konflik dengan lembaga desa lain seperti BUMDes.

Dari sisi norma sosial, masyarakat desa lebih akrab dengan sistem gotong royong tradisional dan sistem ekonomi desa berbasis kepercayaan. Koperasi yang masuk dengan model usaha baru, pendanaan besar dari bank, dan target bisnis yang tinggi dianggap asing, bahkan mencurigakan. Sementara itu, dari sisi legitimasi kognitif, banyak pengurus koperasi belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai operasional koperasi modern, karena minim pelatihan dan pendampingan.

Meskipun program Koperasi Desa Merah Putih diluncurkan dengan semangat gotong royong, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala serius, baik dari sisi struktural, teknis, maupun kultural. Diantaranya

1. Ketidaksiapan Lembaga Desa
2. Kelembagaan yang belum siap
3. Potensi politisasi dan korupsi
4. Resiko Finansial dan Pembiayaan

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dari Kopdes merah putih ini terdapat beberapa solusi yakni :

1. Reformasi regulatif dan Sosialisasi intensif.
2. Evaluasi administrasi dan penguatan struktur dasar koperasi
3. Transparansi dan Partisipasi masyarakat yang terbuka
4. Strategi Bisnis yang solid

Program Koperasi Desa Merah Putih adalah contoh konkret bagaimana APBN bekerja untuk rakyat. Ia bukan sekadar angka-angka dalam tabel nota keuangan, melainkan denyut yang menghidupkan desa.

Jika konsistensi ini dijaga, desa tidak hanya menjadi penerima program, tetapi juga produsen kesejahteraan. Dari desa, Indonesia membangun kemandirian ekonomi; dari desa pula, cita-cita Indonesia Emas 2045 menemukan pijakan kokoh.

Kopdes Merah Putih bukan mimpi. Ia adalah cara kita menanam harapan. Ia mengajarkan bahwa kemiskinan tidak akan turun hanya karena kasihan, tapi karena kerja sama, keberanian, dan gotong royong. Dan kalau semua berjalan lancar, bisa jadi nanti koperasi tak lagi dianggap "urusan simpan-pinjam ibu-ibu", tapi sebagai motor ekonomi merah putih dari desa.

APBN sudah mengambil peran, koperasi sudah dibentuk, dan rakyat sudah diberi ruang. Kini tinggal bagaimana komitmen bersama dijaga. Sebab, membangun Indonesia bukan semata soal pusat, melainkan tentang bagaimana desa menjadi pondasi tegak bagi masa depan bangsa.***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index