PELALAWAN, (Mataandalas) – Sudah sepuluh tahun lamanya, lahan seluas 275 hektar dari total 380 hektar kebun sawit siap panen yang diberikan PT Adei Plantation untuk masyarakat Kelurahan Pelalawan dinikmati segelintir orang yang sejatinya tidak memiliki hak atas lahan tersebut.
Pengurus Kelompok Tani (Poktan) Pelalawan Sejahtera dibentuk bukan berdasarkan keputusan masyarakat Kelurahan Pelalawan, melainkan petunjuk dari lurah saat itu bersama kroni-kroninya, dengan maksud untuk menguasai lahan ratusan hektar tanpa melibatkan masyarakat tempatan.
“Sudah sepuluh tahun masyarakat Kelurahan Pelalawan dibohongi oleh pengurus Poktan Pelalawan Sejahtera. Harusnya masyarakat Kelurahan Pelalawan sudah sejahtera dengan hasil sawit dari lahan seluas 380 hektar itu. Kami dibodoh-bodohi bertahun-tahun,” kata tokoh muda Kelurahan Pelalawan, Liaz Abnur, Kamis (9/10/2025).
Dilanjutkan Liaz, seluruh masyarakat Kelurahan Pelalawan sangat menyadari bahwa lahan yang dikelola oleh Poktan Pelalawan Sejahtera yang bersekongkol dengan mantan Kepala BPMTSP Pelalawan, Hambali adalah hak mereka yang telah dirampas selama bertahun-tahun.
“Kalau ditanya, masyarakat Kelurahan Pelalawan saat ini sangat kecewa terhadap pengurus Poktan Pelalawan Sejahtera yang hanya memperkaya diri sendiri dan kroninya. Masyarakat hanya dikasih 105 hektar, tapi mereka (pengurus Poktan, red) pun dapat pembagian hasil usaha yang dikelola Koperasi Sinar Pelalawan. Sedangkan hasil usaha Poktan hanya dinikmati pengurus Poktan dan Hambali. Masyarakat Kelurahan Pelalawan hanya bisa gigit jari,” lanjutnya.
Disayangkan, kata Liaz, orang-orang hebat dan pintar di Pelalawan tidak memiliki kepedulian untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, serta tidak peduli bagaimana mensejahterakan masyarakat di lingkungan tempat mereka tumbuh dan dibesarkan.
“Kalau menunggu orang-orang hebat dan pintar di Pelalawan bersuara, tidak akan ada. Mereka sudah tidak memikirkan makan dan dapur mereka—mereka sudah sejahtera. Sekarang masyarakat Kelurahan Pelalawan sendiri harus bangkit dan memperjuangkan haknya sendiri,” tegas Liaz.
“Saatnya kita (masyarakat Pelalawan) bersatu mengembalikan hak kita yang selama sepuluh tahun dirampas dari kita,” tegasnya lagi.
Kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Pelalawan, Liaz meminta agar tidak tutup mata atas apa yang terjadi pada masyarakat Kelurahan Pelalawan saat ini. Bagaimanapun, hajat hidup orang banyak merupakan tanggung jawab negara melalui pemerintah daerah. Lembaga legislatif, yang sejatinya adalah perwakilan dan penyalur aspirasi masyarakat, seharusnya peka terhadap apa yang tengah berlaku di masyarakat bawah.
“Di mana Pak Bupati Pelalawan? Di mana bapak-bapak dewan kita yang terhormat? Di mana kaum cerdik pandai, alim ulama, dan intelektual muda Pelalawan saat ini? Masyarakat kita di Pelalawan tengah dijajah oleh saudara kita sendiri, dengan membawa orang luar, membawa Hambali untuk menguasai tanah air kita, hasil bumi kita di Kelurahan Pelalawan. Sekarang kami minta pemimpin Pelalawan dan wakil-wakil kami di dewan jangan lagi tutup mata. Tak tertutup lagi samo ingkak, barang sudah terbuka lebar. Kita saja yang pura-pura tidak tahu,” bebernya.
Liaz menutup dengan kalimat satir yang menyebutkan bahwa kezaliman atau ketidakadilan bisa terus berlangsung bukan semata karena banyaknya orang jahat, melainkan karena diamnya orang-orang baik atau pintar yang seharusnya menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan.
“Saya sekadar mengingatkan saja, bahwa jika orang pintar enggan bersuara, maka kezaliman akan merajalela. Itu yang terjadi di Pelalawan saat ini,” pungkasnya.***