Dua Kursi, Satu Kepentingan: Leo Nardo Diduga Seret PGRI ke Ranah Politik

Dua Kursi, Satu Kepentingan: Leo Nardo Diduga Seret PGRI ke Ranah Politik
Keterangan foto: Kantor Dinas Pendidikan Pelalawan

PELALAWAN, (Mataandalas) — Jabatan rangkap yang dipegang oleh Leo Nardo, S.Pd, M.M sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Pelalawan sekaligus Ketua PGRI Pelalawan kini menuai sorotan tajam.
Kedua posisi itu dinilai menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang serius karena menyatukan jabatan struktural pemerintahan dengan organisasi profesi yang seharusnya independen dan netral.

Secara normatif, jabatan Kepala Dinas Pendidikan merupakan jabatan struktural eselon II yang bersifat administratif dan berada di bawah garis kebijakan pemerintah daerah.
Sementara Ketua PGRI adalah posisi strategis organisasi profesi guru yang mestinya berdiri di luar intervensi kekuasaan, menjadi corong aspirasi dan pembela kepentingan guru tanpa tekanan jabatan.

“Banyak persoalan guru terkait kebijakan pemerintah daerah maupun sekolah yang justru merugikan posisi kami. Di situ peran Ketua PGRI yang independen dibutuhkan. Tapi kalau ketua kami bagian dari kekuasaan, ke mana lagi kami bisa mengadu?”
ujar salah seorang guru ASN di lingkungan Pemkab Pelalawan yang meminta identitasnya dirahasiakan, Selasa (21/10/2025).

Guru tersebut menilai rangkap jabatan yang dilakukan Leo Nardo bukan hanya melanggar etika organisasi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip netralitas PGRI.
“Leo membawa guru ke ranah politik, demi kepentingan jabatannya sebagai Kadisdik,” tegasnya.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PGRI hasil Kongres XXII Tahun 2019, telah ditegaskan bahwa pengurus dilarang merangkap jabatan struktural yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Pasal 21 AD/ART dengan jelas menyebutkan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas dan independensi organisasi profesi guru dari intervensi kekuasaan.

Rangkap jabatan ini dikhawatirkan membuka ruang intervensi kebijakan dinas terhadap organisasi PGRI, sehingga mengikis daya kritis dan posisi tawar (bargaining power) PGRI di hadapan pemerintah.

“Sekarang PGRI sudah jadi organisasi underbow politik pemerintah. Tak punya bargaining lagi di hadapan kekuasaan,” ujar sumber itu getir.

Selain soal jabatan rangkap, pengelolaan dana organisasi PGRI Pelalawan juga disorot.
Iuran anggota sebesar Rp10.000 per bulan per guru, yang dikumpulkan dari ribuan anggota, disebut tidak jelas penggunaannya.

“Banyak kas PGRI dari iuran anggota, entah dikemanakan uang sebanyak itu,” ungkap seorang guru lainnya.

Ironisnya, meski sudah rutin membayar iuran bulanan, para guru tetap saja dimintai sumbangan tambahan setiap kali ada kegiatan organisasi.

“Iuran tiap bulan, tapi kegiatan setahun sekali pun masih juga kami dipalak  dari gaji, sertifikasi, dan sumbangan lain yang tak resmi,” bebernya.

Guru-guru meminta Inspektorat dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk turun tangan mengaudit penggunaan dana iuran PGRI secara terbuka.

“Harus diaudit, ke mana iuran kami diarahkan. Besar loh uang itu kalau dikumpulkan setiap bulan. Tapi anehnya, tiap ada kegiatan masih saja dipalak lagi,” keluhnya.

Sumber lain, seorang guru PPPK yang baru diangkat, mengungkapkan keluhan senada terhadap kebijakan Disdik dan PGRI Pelalawan yang dinilai sarat kutipan dan tekanan.
Ia menyoroti praktik pemaksaan pembelian buku oleh dinas yang dianggap tidak relevan dan membebani sekolah.

“Sekolah diwajibkan membeli buku yang tak penting oleh Disdik, cuma akal-akalan palak saja itu. Tapi mau bagaimana, Ketua PGRI-nya juga dia. Ke mana kami mau mengadu?” ujarnya.

Guru tersebut menambahkan, dalam situasi seperti ini, suara guru sering kali dibungkam demi kepentingan pribadi dan jabatan pejabat yang berkuasa.
Banyak guru, kata dia, memilih diam karena takut akan dampaknya terhadap karier dan penilaian kinerja mereka.

“Kalau bicara, bisa-bisa kita disudutkan. Jadi lebih baik diam. Tapi lama-lama ini sudah keterlaluan,” tambahnya dengan nada kecewa.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Disdik dan PGRI Pelalawan kini telah kehilangan batas etis antara lembaga pemerintah dan organisasi profesi.
Ketika suara guru diredam oleh jabatan ganda, dan dana organisasi tak lagi transparan, integritas dan marwah PGRI sebagai rumah besar perjuangan guru patut dipertanyakan.

PGRI seharusnya menjadi benteng moral dan wadah perjuangan pendidikan, bukan perpanjangan tangan kekuasaan.
Jika organisasi profesi guru justru tunduk pada birokrasi, maka siapa lagi yang akan bersuara untuk keadilan di dunia pendidikan?***

(Bersambung) 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index